Sabtu, 30 Desember 2017

Ayo Bersepeda!


Setelah sekian lama menelantarkan sepeda di halaman belakang, akhirnya pagi ini niat bersepeda itu kembali ada. Sudah lama rasanya tidak bersepeda. Saat masih tinggal di Solo, saya rutin bersepeda di setiap akhir pekan. Setelah bekerja di Jakarta, setiap saya pulang  ke Solo, belum pulang rasanya jika belum bersepeda. Tidak jauh-jauh memang, hanya berkeliling kota saja. Menurut saya, bersepeda mengelilingi kota membuat kita mengenal lebih dekat setiap lokasi yang kita lewati. Tidak hanya sekadar lewat seperti halnya kalau kita mengendarai kendaraan bermotor, ada cukup banyak waktu untuk mengamati setiap detail lokasi yang kita lewati. 

Tujuan gowes kali ini adalah Taman Mini. jaraknya kurang lebih 10 Km dari rumah. Jarak tempuh yang lumayan untuk ukuran memulai bersepeda kembali. Alasannya kenapa Taman Mini adalah selain memang kawasan Taman Mini sering digunakan untuk tujuan bersepeda, sekaligus sebenarnya mengukur waktu dan kekuatan saya jika saya bersepeda dari rumah ke kantor yang jaraknya tidak seberapa jauh dari Taman Mini. Sempat terpikir memang untuk bersepeda ke kantor. Lampu depan, lampu belakang, tempat botol minum sudah terpasang di sepeda. Tetapi smpai sekarang belum pernah kejadian ke kantor naik sepeda 😅

Perjalanan ke Taman Mini saya tempuh dalam waktu kurang lebih 40 menit. Waktu yang cukup lama. Ternyata kondisi jalanan yang saya tempuh berkontur cukup lumayan menguras tenaga. Naik turunnya berbeda dengan kota solo yang rata-rata jalanannya landai. Apalagi jika harus melewati flyover, tantangan sendiri bagi para pesepeda. 

Sesampai di Taman Mini, sudah banyak pesepeda yang mengitari sekitaran Taman Mini. Ada yang seperti saya bersepeda dari rumahnya, ada yang membawa sepeda dengan mobil, banyak pula yang menyewa sepeda di Taman Mini. Untuk biaya masuk bagi pesepeda dikenakan biaya Rp 20.000,- setiap individu, sedangkan untuk sepedanya tidak dikenakan biaya.

Di Taman Mini, tidak terlalu jauh saya mampu bersepeda, hanya sekali lingkaran besar dan dua kali lingkaran kecil saja mengingat saya masih harus menempuh perjalanan pulang yang lumayan jauh. Masih 10 Km lagi! Dan benar saja, saat perjalanan pulang ke rumah rasanya kaki ini sudah mencapai batasnya. Paha sudah panas, kecepatan juga sudah tidak maksimal. Tandanya harus sudah mulai mecari sarapan. Hehehe. Ini  juga bisa menjadi salah satu asyiknya bersepeda. Saat sudah mulai terasa capeknya, apapun makanan yang kita temui di sepanjang jalur yang kita lewati akan terasa sangat nikmat. Berhenti sejenak, menikmati hidangan seadanya sudah cukup untuk memulihkan tenaga untuk gowes kembali pulang ke rumah. 

Sesampai di rumah, saya terpikir kembali rencana awal saya ingin bersepeda ke kantor. Dengan waktu tempuh kira kira 40 menit, itu pun pada kondisi jalanan sangat lancar karena liburan panjang, belum lagi jika harus pulang dari kantor yang sering kali harus sampai malam hari, sepertinya tidak akan setiap hari saya bisa bersepeda ke kantor. Saya jadi ingat salah satu mantan bos saya, beliau mengatakan, orang naik sepeda dengan jarak jauh itu tidak masuk logika katanya. naik kendaraan bermotor saja enak kok harus berpanas-panas dan bercapek-capek ria. hehehe. Tapi maaf bos, saya kurang setuju dengan pendapat bos. Bersepeda menurut saya cukup menyenangkan. Capek memang, tapi asyik. Ada kepuasan sendiri saat mengetahui bahwa kita mampu menempuh jarak yang jika kita bayangkan akan ditempuh dengan bersepeda sepertinya lebih baik mengendarai kendaraan bermotor. Seperti pagi ini, kurang lebih 25 Km jarak yang saya tempuh dengan sepeda. Memang tidak ada kalah dan menang dalam bersepeda secara individu, namun sebenarnya, kita sudah melawan diri sendiri. Hal yang sepertinya tidak mungkin melakukannya, malas untuk melakukannya, ternyata bisa kita lalui. 

Mungkin bersepeda ke kantor sesekali asyik ya? 

Yuk bersepeda!

Bekasi, 30 Desember 2017, 21:33


Jumat, 29 Desember 2017

Catatan Akhir Tahun 2017


Hari ini hari kerja terakhir di tahun 2017. Suasana liburan akhir tahun sangat terasa di kantor. Beberapa kawan bahkan sudah mengajukan cuti sejak liburan Natal pada minggu lalu. Saatnya berlibur, berkumpul dengan keluarga, melepas penat setelah satu tahun penuh berjibaku dengan tugas tugas rutin di kantor yang cukup menguras tenaga dan pikiran.
Selamat datang tahun 2018. Tahun yang sepertinya akan menjadi tahun yang menarik sekaligus menantang. Tahun politik bagi sebagian daerah yang melaksanakan pilkada selain pula ajang untuk pemetaan politik persiapan Pemilu 2019. Tahun 2018 ini juga akan menjadi pertaruhan pembuktian bagi sebagian instansi terutama yang bergerak di bidang infrastruktur mengingat banyak target yang harus diselesaikan pada tahun tersebut.
Sepertinya tahun depan akan menjadi tahun yang seru. Sudah terbayang dalam angan angan akan menjadi seperti apa jagad media sosial kita. Ya, media sosial. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana postingan postingan di faceboook kita saat pilkada DKI berlangsung. Masih terbayang dalam ingatan kita bagaimana serunya tweet war saat pemilihan presiden beberapa tahun yang lalu yang bahkan sampai saat ini masih ada saja pihak pihak yang belum bisa move on dari kedua even yang luar biasa tersebut.
Menghadapi 2018 sepertinya dibutuhkan pemikiran pemikiran yang terbuka. Pemikiran yang seharusnya jauh dari subjektifitas dan fanatisme pada kelompok kelompok tertentu. Tidak perlu lah rasanya bersitegang hanya karena berbeda pilihan. Tak elok rasanya harus berselisih hanya karena perbedaan pendapat. Negara kita kita ini negara yang berlandaskan Pancasila kawan! Negara dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan perbedaan memang ada pada bangsa kita dan itu sudah disadari oleh para pendiri bangsa. Perbedaan perbedaan yang ada seharusnya dipandang sebagai sebuah rahmat, yang justru bisa memperkaya pengetahuan kita. Bukan untuk saling memecahbelah. Saya pribadi masih percaya nilai nilai luhur yang ditanamkan dan dicita citakan oleh pendahulu kita masih hidup hingga saat ini. 72 tahun lebih sudah kita berhasil melalui kemerdekaan ini dengan selamat sentosa. Jangan gara gara hal yang sepele persatuan bangsa kita tercerai berai.
Bagi kebanyakan orang, pergantian tahun biasa dijadikan momentum untuk menilik kembali capaian capaian yang telah kita lalui pada tahun lalu. Saatnya merenung, bermuhasabah semua apa yang telah kita lalui ditahun lalu. Bisa jadi ada yang sudah tercapai, bisa juga sebaliknya. Namun belum tercapainya harapan harapan kita ditahun lalu, tidak boleh menjadikan kita patah arang. Saatnya membuat target yang baru untuk tahun yang akan datang. Bukan hanya target namun pula rencana pencapaian.
Menyusun resolusi 2018 bisa jadi memang mudah. Namun jangan sampai resolusi itu hanya menjadi catatan atau angan angan belaka. Tulisan ini berlaku juga sebagai pengingat bagi saya. Terkadang niat itu mudah diucapkan atau dituliskan. Namun istiqomah dalam rencana pencapaiannya yang susah susah gampang. Sepertinya tahun depan resolusi saya tidak terlalu muluk. Cukup dengan hidup lebih sehat dan lebih produktif.
Pada akhirnya, semoga apapun yang menjadi impian kita bisa tercapai di tahun depan.
Selamat bermuhasabah.
Selamat menyusun resolusi.
Selamat berlibur.
dan Selamat Tahun Baru 2018.
Bekasi, 29 Desember 2017, 23:36

Minggu, 14 Februari 2016

Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu

Pernahkah kita merasa sudah berupaya maksimal namun masih ada saja pihak yang tidak menghargai upaya kita? Atau pernahkah kita mendapatkan pertanyaan pertanyaan yang menurut kita agak mengganggu? Kapan lulus? Kapan nikah? Kapan punya anak? Dan pertanyaan lain yang kita rasa mengganggu. Atau jangan jangan kita sendiri yang suka menanyakan pertanyaan seperti itu? Atau terkadang kita mencela upaya orang lain yang menurut kita biasa biasa saja atau bahkan menurut kita buruk? Saat akan menanyakan pertanyaan semacam itu atau melontarkan komentar yang sekiranya kurang baik, pernahkah kita melihat secara utuh keadaan korban pertanyaan atau celaan kita? Misalnya saat bertanya kapan lulus/wisuda? Pernahkah terpikir seberapa rumit skripsi/thesis yang sedang diambilnya? Atau saat bertanya kapan punya anak? Pernahkah kita terpikir bahwa mereka sedang mengupayakannya? Atau jika ada kondisi kondisi tertentu yang ternyata belum memungkinkan sehingga pertanyaan kita justru akan menyinggung perasaannya?
Nampaknya sudah menjadi budaya bangsa kita untuk sekedar basa-basi sekedar mencari bahan obrolan. Nampaknya juga sudah menjadi hal yang umum dalam masyarakat kita untuk menghakimi seseorang dengan mendengar cerita bahkan cerita dari orang lain. Belum menjadi budaya tampaknya untuk bertabayun atau mengkonfirmasi. Entah apakah pertanyaan pertanyaan atau judgement yang diberikan masyarakat kita juga diberikan dalam budaya masyarakat bangsa lain. Bisa jadi adat ketimuran yang masih kental dalam masyarakat kita yang guyub memang berbudaya seperti itu. Berbeda dengan budaya di luar yang lebih individualis.
Saya jadi ingat dulu di bangku kuliah, saat mengikuti training motivasi saya diajarkan untuk berusaha mengerti sebelum dimengerti. Artinya cobalah untuk mengerti keadaan orang lain terlebih dahulu sebelum kita minta untuk dimengerti orang lain. Berusahalah mengerti kondisi lawan bicara kita. Hindari pertanyaan pertanyaan yang sekiranya sebenarnya kita tidak tahu bagaimana kondisi hal yang kita tanyakan. Apalagi hanya bermaksud untuk mencari bahan pembicaraan. Hindari pula judgement judgement yang sebenarnya kita tidak tahu kondisinya sama sekali. Berusahalah mengerti sebelum kita minta untuk dimengerti.
Namun hidup dalam masyarakat kita artinya juga harus siap untuk menghadapi pertanyaan pertanyaan atau judgement judgement demikian. Apakah pertanyaan dan judgement itu akan menghambat kita? Membuat kita galau berhari hari dengan memikirkannya? Saya sarankan untuk tidak terlalu memikirkannya. Kita sendiri yang menjalani hidup. Rasanya sudah banyak hal yang harus kita pikirkan daripada memikirkan pertanyaan dan judgement orang lain. Pertanyaan itu akan berlalu begitu saja. Pun tidak ada kepentingan orang yang bertanya dengan pertanyaannya. Berhentilah bertanya dan menghakimi seperti itu dan bersiaplah untuk mendapatkan pertanyaan seperti itu. Jangan ijinkan pertanyaan tidak produktif seperti itu menghambat kita dengan merasa sedih dan gusar. Anjing menggonggong kafilah berlalu.

Jakarta, 14 Februari 2016

Sabtu, 13 Februari 2016

Pekerjaan Impian



Suatu hari bersama dengan ibu saya pergi ke Jogjakarta untuk mengunjungi salah satu saudara. Sampai di Jogjakarta mampirlah kami ke sebuah warung bakmi jawa di sekitar Pura Pakualaman Jogja. Sambil menunggu pesanan datang kami mendengarkan lagu lagu keroncong yang dibawakan sekelompok pengamen. Bukan pengamen sembarang pengamen yang hanya menyanyikan sebait lagu yang kemudian pergi setelah mendapatkan recehan dari pengunjung, melainkan istilah saya pengamen profesional dengan suara merdu dan seperangkat alat musik keroncong yang lumayan lengkap. Selintas terbersit dalam pikiran saya “betapa menyenangkannya pekerjaan mereka, setiap hari bernyanyi, melakukan hal yang mereka sukai sebagai pekerjaan mereka”. Pertanyaan saya kemudian muncul, jika setiap hari mereka bekerja menghibur pengunjung yang mampir untuk bersantap malam, disamping pasti juga menghibur diri sendiri dengan nyanyiannya, pernahkah mereka bersedih dengan pekerjaannya? Pernahkah mereka mengeluh dengan pekerjaan mereka?”. Sampailah saya pada sebuah pikiran, betapa menyenangkannya menjadikan hobi sebagai pekerjaan. Pertanyaannya kemudian saya kembalikan kepada saya sendiri. Apakah saya mengeluh dengan pekerjaan yang saat ini sedang saya lakukan? Apa sebenarnya pekerjaan yang saya inginkan? Dan apakah saya cukup bahagia dengan pekerjaan saya yang sekarang? Kita simpan dulu pertanyaan pertanyaan itu.
Bicara soal pekerjaan, saya teringat mempunyai seorang kawan. Dalam waktu 2 tahun sejak saya mengenalnya, sudah 3 kali ia berpindah pekerjaan. Ketika ditanyakan mengapa berpindah pindah pekerjaan? Ia menjawab “yaa tidak cocok saja”. Jika memang seperti itu, kemudian muncul pertanyaan dalam benak saya, “Apa yang menjadi pertimbangan seseorang untuk memutuskan bekerja pada sebuah perusahaan atau mengambil profesi tertentu?”. Pendapatan? Fasilitas? Lingkungan kerja? Atau pekerjaannya?
Dalam lingkungan perusahaan dikenal survey engagement, dilakukan untuk mengukur tingkat keterikatan karyawan dengan perusahaannya. Dari pengamatan saya selama berinteraksi dengan teman teman di kantor, saya berkesimpulan bahwa sebenarnya engagement terhadap perusahaan itu sangat berkaitan erat dengan alasan ia bekerja pada perusahaan. Engagement paling lemah muncul apabila seseorang hanya bekerja untuk mengejar pendapatan semata. Saat ada perusahaan lain menjanjikan pendapatan yang lebih baik, orang ini akan dengan mudah beralih loyalitasnya kepada perusahaan lain. Belum lagi jika ternyata pekerjaannya yang saat ini bukan bidang yang ingin ia tekuni. Lebih mudah lagi seseorang akan pindah pekerjaan. Engagement selanjutnya menurut saya akan muncul jika fasilitas yang diberikan kepada karyawannya cukup memadahi. Fasilitas kesehatan, transportasi, akomodasi menjadi faktor yang cukup diperhitungkan bagi karyawan yang akan memberikan loyalitasnya kepada sebuah perusahaan. Sama halnya dengan engagement yang pertama, jika ada tawaran yang lebih menarik dari perusahaan lain, orang ini juga akan lebih memilih untuk pindah pekerjaan. Engagement tingkat selanjutnya akan terbentuk dari lingkungan kerja yang menyenangkan. Apabila seseorang mendapatkan engagement dengan perusahaannya dengan cara ini, ia akan bekerja dengan lebih baik. Tidak mudah pula mendapatkan suasana dan lingkungan kerja yang sama di tempat yang lain. Ketiga engagement tersebut dihasilkan dari sisi perusahaan. Namun tingkat engagement yang terakhir ditentukan oleh karyawan sendiri yaitu seberapa besar karyawan menyukai pekerjaannya. Seseorang yang menyukai bahkan mencintai pekerjaannya akan memberikan yang terbaik karena itulah memang yang menjadi passion mereka.
Secara sederhana saya dapat sampaikan passion adalah sesuatu hal yang kita sangat suka bahkan saat kita lakukan waktu menjadi terasa sangat cepat. Pernahkah kita harus melakukan sesuatu hal yang tidak kita suka? Berpidato di depan publik misalnya bagi yang tidak suka berbicara didepan publik. Waktu 5 menit saja akan terasa lama sekali berlalu. Namun berbeda halnya bagi orang yang memang suka untuk berbicara di depan publik. Waktu 5 menit sangat cepat berlalu bahkan mungkin kurang baginya. Itulah passion. Apabila kita melakukan pekerjaan yang menjadi passion kita, seperti halnya pada awal tulisan ini pengamen profesional yang setiap hari menghibur pengunjung, betapa menyenangkan pekerjaan kita. Pernahkah kita melihat seseorang yang tahan untuk bekerja selama berjam jam? Seorang lawyer misalnya dengan jam kerja yang tidak menentu, atau seorang auditor yang bekerja sampai jauh larut malam? Bila orang orang tersebut tidak pernah mengeluhkan pekerjaan mereka, maka itulah passion mereka. Namun bila setiap hari orang ini mengeluh, maka bisa jadi ia belum menemukan pekerjaan yang tepat baginya.
Bagaimana dengan saya? Menjawab pertanyaan di awal tulisan ini saya sampaikan saya orang dengan latar belakang hukum. Bekerja di bidang hukum di sebuah BUMN menjadi keinginan saya mengingat dunia praktik hukum di Indonesia ini kata orang “Ngeri-ngeri sedap”. Maka itulah yang sedang saya lakukan. Saya cukup bahagia dengan pekerjaan yang sedang saya lakukan sehingga saya belum terpikir untuk berpindah pekerjaan. Bagaimana dengan anda? Pilihannya saya rasa hanya dua, sukai apa yang anda kerjakan, atau kerjakan apa yang anda sukai. Jadi? Sudahkah anda menemukan pekerjaan idaman anda?


Jakarta, 13 Februari 2016

Jumat, 12 Februari 2016

Berlian Dalam Lumpur


Pelajaran berharga saya dapatkan dari seorang pucuk pimpinan sebuah perusahaan. Dalam sebuah forum rapat, terkadang ada beberapa orang yang akan berdiskusi sendiri untuk memperkuat argumen yang akan disampaikan dalam rapat. Saat itu saya sedang berdiskusi dengan salah satu atasan saya untuk memperkuat apa yang akan disampaikan dalam rapat. Singkat cerita kemudian atasan saya menyampaikan masukannya. Pimpinan perusahaan tersebut dapat langsung menanggapinya dengan dalam dan mengetahui dasar pemikiran yang disampaikan atasan saya. Betapa terkejutnya saya sesaat kemudian beliau menyampaikan bahwa beliau mengikuti diskusi kecil yang terjadi dalam rapat disamping diskusi besar yang sedang berlangsung dalam forum. Beliau menyampaikan bahwa sering kali mengikuti diskusi kecil dalam rapat untuk melihat konstruksi berpikir seseorang.
Menurut saya hal tersebut adalah suatu sikap seorang pemimpin yang hebat. Terkadang ada seorang pimpinan rapat yang akan terganggu dengan diskusi kecil yang terjadi dalam forumnya karena akan mengganggu konsentrasi. Namun tidak dengan pimpinan yang satu ini. Beliau justru mendengarkannya, melihat cara berpikir seseorang dan saya pikir tentu saja beliau melihat apakah dalam pemikiran tersebut ada solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang didiskusikan. Hebatnya lagi beliau tidak melihat siapa yang berdiskusi kecil tadi, namun apa isi diskusi tersebut.
Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang banyak mendengar. Semakin banyak yang didengar maka semakin banyak masukan yang dapat dipertimbangkan dalam mengambil keputusan. Terkadang kita merasa mendengar hal-hal yang tidak berguna atau hal yang kecil peluangnya. Namun pemimpin yang bijaksana akan melihat lebih dalam sebenarnya bagaimana konstruksi berpikir seseorang hingga memunculkan pendapat. Sering kali cara penyampaian pendapat membuat pendapat yang sebenarnya baik menjadi terdengar kurang sesuai untuk memecahkan masalah. Padahal masalahnya hanya pada cara penyampaian pendapat. Tidak semua orang dapat menyampaikan pendapatnya dengan baik. Namun dengan melihat cara berpikirnya, kita akan tahu bahwa maksudnya mungkin bukan seperti hal yang disampaikan, dan akhirnya kita bisa meluruskan maksud pendapat yang disampaikan dan menjadikannya masukan yang berharga. Jangan lihat siapa yang menyampaikan, namun lihat apa yang disampaikan dan bagaimana pemikiran dihasilkan. Berlian dalam lumpur tetap saja berlian. Siapa tahu berlian itu hanya tertutup lumpur.
                                                                   
                                                                                                     Jakarta, 12 Februari 2016

Kamis, 11 Februari 2016

Ngangsu Kawruh


Mengambil pelajaran dari kehidupan manusia. Kurang lebih seperti itu arti "Ngangsu Kawruh Saking Pagesanganipun Manungsa", kalimat dalam Bahasa Jawa yang saya gunakan sebagai pembuka dalam blog ini. Semangat itu pula yang timbul saat blog ini dibuat. Peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia, baik yang kita alami sendiri maupun yang dialami oleh orang lain, dapat kita simpulkan dan dapat kita jadikan pelajaran. Peristiwa baik ataupun peristiwa buruk, dapat diambil hikmahnya untuk menjadikan kita manusia yang lebih baik.
Setiap hari kita berinteraksi dengan banyak orang, mengalami berbagai macam peristiwa, melakukan berbagai macam pekerjaan dan kegiatan. Apakah semuanya akan berlalu begitu saja? Tidakkah kita dapat mengambil sesuatu dari yang kita alami? Adakah sesuatu hal baru yang kita ketahui setiap harinya? Terkadang kita menyadari bahwa kita sedang belajar sesuatu, terkadang kita menyadari ada sebuah hikmah yang bisa kita ambil dari sebuah kejadian baik yang terjadi pada diri kita maupun yang terjadi pada orang lain. Namun terkadang pula kita merasa hidup kita hari ini adalah hari kita yang biasanya yang sifatnya rutin dan memang sudah seharusnya berjalan seperti itu. Tidak ada apapun yang kita pelajari hari ini. Benarkah?
Gelas yang telah terisi penuh tidak dapat dituangkan air lagi. Seperti itu pula pelajaran yang kita ambil. Untuk dapat menuangkan kembali air kedalam gelas itu rasanya kita perlu mengosongkan isi gelas tersebut sebagian. Begitu pula dengan pelajaran baru yang kita ambil setiap harinya. Alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu merendahkan hati, mengosongkan gelas untuk dapat kita untuk  dapat mengambil pelajaran dari sebuah peristiwa, menuangkan kembali air ke dalam gelas.
Kawruh (pelajaran) akan selalu muncul jika kita terus merasa kosong. Jika kita terus merasa kosong, kita akan terus mencari untuk mengisi kekosongan tersebut. Mencari dalam kekosongan dapat saya artikan sebagai perenungan diri. Pernahkah kita berdiam diri sejenak untuk memikirkan kembali setiap peristiwa yang kita alami? Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari peristiwa tersebut? Banyak kawruh yang dapat kita sarikan dari kehidupan kita sehari hari.
Sampai kapan kosong itu akan menjadi penuh? Terkadang tanpa disadari gelas itu penuh. Penuh dengan kesombongan dan perasaan cukup dengan isi yang kita punya. Untuk dapat selalu ngangsu kawruh, diperlukan kelapangan hati dan selalu merasa kurang. Jangan pernah merasa penuh untuk ngangsu kawruh. Manusia selalu belajar dari awal hingga akhir kehidupannya.
Melalui blog ini saya ingin menuangkan kawruh yang saya dapatkan setiap harinya. Saya mengajak kepada siapapun yang membaca tulisan ini untuk menuliskan apapun kawruh yang didapatkan setiap harinya. Dengan menuliskannya, kita bisa membaca kembali kawruh apa yang kita dapatkan setiap harinya dan membantu kita untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Jakarta, 11 Februari 2016